Rabu, 03 Februari 2016

Een Eereschuld

“Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1899 di Negeri Belanda.

Van de Venter menjelaskan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1930 dan sistem Liberal pada tahun 1870 yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahannya, Hindia Belanda ---- begitulah sebutan Indonesia pada zaman penjajahan ---- dinilai sebagai politik pengerukan sumber kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa. Kekayaan alam berupa rempah-rempah; hasil tambang emas, perak, batubara,
dan minyak bumi; hasil pertanian dan perkebunan dari tanah jajahan Hindia Belanda telah dikeruk, diekploitasi habis-habisan dan dibawa ke Negeri Belanda untuk dipersembahkan kepada Sang Ratu dan para pengikutnya. Menurut van Deventer, semua keuntungan yang telah diperoleh Belanda melalui penjajahan itu harus dianggap sebagai hutang pemerintah Balanda kepada rakyat Hindia Belanda, yang kalau dihitung besarnya tidak kurang dari 187 juta gulden. Dengan demikian, menurut van Deventer, itulah hutang yang harus dikembalikan kepada rakyat jajahan, dengan cara menyediakannya sebagai anggaran belaja untuk rakyat jajahan itu.
Politik Etis atau Politik Balas Budi 
Tulisan van Deventer itulah yang kemudian membuka mata pemerintah Belanda untuk mengubah sistem Tanam Paksa dan sistem Liberal dengan kebijakan baru yang kemudian dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Politik Etis ini kemudian dikenal sebagai Trilogi van Deventer, yakni meliputi tiga kebijakan, yani:
Pertama, migrasi. Yang dimaksud migrasi adalah proses pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, untuk dijadikan buruh yang akan dipekerjakan di daerah perkebungan atau daerah pertambangan milik Belanda. Kuli kontrak dari Pulau Jawa dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat, dan bahkan juga di negeri jajahan Belanda di luar negeri.  Maksud awal kebijakan ini memang dipandang sebagai kebijakan yang bersifat simbiose mutualistis, karena dapat menguntungkan pihak Belanda di satu sisi, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sisi lainnya. Namun, kenyataanya tidak demikian. Kebijakan itu semata-mata juga menguntungkan Belanda. Makin banyak hasil bumi dan hasil tambang yang dikeruk oleh Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Sementara rakyat tetap dalam keadaan miskin dan tertindas.
Kedua, irigasi. Negara Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang teknologi perairan. Laut di Belanda dapat dibendung dan dijadikan daerah perkotaan. Oleh karena itu, dalam hal teknologi pengairan, Belanda memang jagonya. Melalui kebijakan irigasi, Belanda membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan yang dicetak Belanda. Lagi-lagi kebijakan ini sesungguhnya bukanlah sebagai politik balas budi Belanda, melainkan semata-mata untuk mengeruk lebih banyak lagi kekayaan dari tanah jajahan.   

Ketiga, edukasi. Kebijakan edukasi adalah pemberian kesempatan untuk bersekolah bagi rakyat jajahan. Untuk itu, maka perluasan besar-besaran jumlah sekolah dilakukan oleh Belanda. Pembukaan sekolah itu kemudian juga membuka peluang untuk pembukaan sekolah-sekolah guru untuk penyediaan gurunya. Diperoleh caratan dari Kementerian Jajahan pada tanggal 16 Desember 1901 bahwa jumlah siswa sekolah guru di Banding ditambah dari 50 menjadi 100 orang, di Yogyakarta dari 75 menjadi 100 orang, di Probolinggo dari 75 menjadi 100 orang, di Semarang dibuka sekolah guru baru dengan siswa sebanyak 100 orang (Dedi Supriadi, 2003: 11). Namun, apa dengan demikian rakyat jajahan dapat memperoleh pendidikan secara merata? Tidak, karena yang memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan tersebut kebanyakan adalah golongan priyayi, dengan maksud untuk diangkat menjadi pegawai Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman